Daerah

Judul Artikel: Ranah Minang Didera Asusila

Oleh: Ansar Idris, S.Pd.I Mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi.

PENDAHULUAN

Bukittinggi GMU News.com
Serangkaian kasus asusila berat yang mengguncang Sumatera Barat dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini bukan sekadar data kriminalitas yang suram, melainkan indikator paling brutal dari runtuhnya benteng moralitas yang dipancangkan oleh Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah ABS-SBK. Kasus-kasus ini menembus batas nalar kemanusiaan, melibatkan kekejian pada darah daging sendiri, dan bahkan merobek ikatan kekerabatan yang paling sakral (inses).

Tragedi inses menunjukkan kegagalan paling elementer dalam sistem pengawasan keluarga (kaum), yang seharusnya menjadi unit perlindungan utama Minangkabau. Skandal seorang pria berinisial AA (50) di Padang Pariaman pada Juli 2024, yang tega menyetubuhi putri kandungnya (RPW, 16 tahun) berulang kali hingga melahirkan, adalah pengkhianatan terhadap prinsip Syarak dan Adat yang menjunjung tinggi kehormatan perempuan.
Pelaku memanfaatkan otoritas patriarki untuk menghancurkan masa depan darah dagingnya sendiri, sebuah fakta yang menggugat di mana peran Niniak Mamak sebagai pelindung kemenakan telah luput (detikSumut, 17 Juli 2024).

Sementara itu, kehamilan di luar nikah menjadi pintu gerbang bagi tragedi lanjutan. Kasus-kasus ini secara terang-terangan menunjukkan bahwa kontrol sosial berbasis rasa malu telah bergeser fungsi dari pencegah (preventif) menjadi pendorong tindakan ekstrem. Contohnya terlihat di Padang pada Juli 2025, ketika seorang perempuan (RA, 26) nekat menelantarkan bayi perempuannya karena “malu hamil di luar nikah,” bahkan sempat mencoba aborsi (Suara.com Sumbar, 29 Juli 2025). Rasa takut pada stigma sosial terbukti jauh lebih besar daripada nurani, sebuah kritik telanjang terhadap sistem Adat yang menciptakan hukuman psikologis tanpa memberikan jalan keluar. Krisis moralitas ini bahkan menyentuh otoritas, sebagaimana terlihat dari polemik Lembaga Adat di Lima Kaum pada Juni-Juli 2025, yang melibatkan tudingan serius terhadap istri Walinagari terkait kehamilan di luar nikah, menegaskan bahwa penyakit sosial ini juga menggerogoti simpul-simpul lembaga adat formal (BPRN) (LacakPos.co.id, 30 Juni 2025).

Puncak kekejian dan pengkhianatan terhadap peradaban Minangkabau terlihat dari pembuangan dan pembunuhan bayi, yang mewakili penolakan total terhadap prinsip hifzh an-nafs (perlindungan jiwa) dalam Syarak. Maraknya pembuangan bayi seperti penemuan jasad bayi di Lubuk Begalung (Agustus 2025) dan penemuan bayi yang selamat di Padang (Juni 2025) menunjukkan betapa rentannya nyawa tak berdosa di tengah kepanikan pelaku. Penyelidikan mengungkap bahwa pelaku pembuangan di Puri Lestari, Lubuk Begalung, adalah sepasang kekasih (TBNews Sumbar, 1 Agustus 2025), menegaskan bahwa pembuangan adalah solusi instan yang dipilih pasangan muda yang gagal memegang teguh Syarak. Paling memilukan, Tragedi Ngarai Sianok di Bukittinggi pada Oktober 2025 menjadi penutup tahun yang keji. Seorang ibu muda (Ica, 21) membunuh dan membuang bayinya yang baru berusia dua hari dalam kondisi terpotong tiga bagian. Motifnya yang didasari rasa malu menunjukkan bahwa keputusan individu yang diliputi kepanikan berhasil mengalahkan hukum agama dan akal sehat (detikNews, 27 Oktober 2025; detikSumbar, 26 Oktober 2025). Kasus ini adalah bukti definitif bahwa benteng moralitas Minangkabau telah ditembus dari dalam.
Fenomena ini melampaui masalah kriminalitas; ia merupakan cerminan krisis moralitas yang secara frontal menohok dan menodai fondasi budaya Minangkabau Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) Syarak Mangato Adat Mamakai.

Baca Juga  Serangan Rudal Iran Ke Israel Dan Bayangan Perang Besar Di Timur Tengah

Peningkatan perzinahan dan kekerasan terhadap bayi memunculkan pertanyaan mendasar, jika Syarak (Hukum Islam) adalah landasan Adat, dan Islam secara mutlak mengharamkan perbuatan tersebut, mengapa praktik yang bertentangan dengan Al-Qur’an ini justru menguat di Ranah Minang? Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32). Inilah landasan aturan dalam pergaulan yang dimuat didalam syarak yang mesti dijadikan dasar dan dipakai dalam aturan adat Minangkabau, Inilah tantangan serius bagi Niniak Mamak, Bundo Kanduang, dan seluruh pemangku kepentingan untuk membuktikan bahwa filosofi ABS-SBK bukan sekadar slogan historis, melainkan benteng etika yang masih efektif di tengah gempuran zaman.

*PEMBAHASAN*

Tragedi asusila adalah indikasi krisis implementasi, bukan krisis filosofi. ABS-SBK tetap merupakan landasan etika tertinggi, namun terancam runtuh oleh kelalaian pemangku kepentingan dan resistensi kolektif masyarakat.

A. Kelalaian Pemangku Kepentingan: Otoritas yang Kehilangan Jangkauan
Kegagalan pertama terletak pada mereka yang memegang kunci ABS-SBK. Aturan Syarak mengharamkan zina dan Adat melarang pergaulan bebas, tetapi implementasinya lemah karena otoritas kehilangan jangkauan:
1. Pelemahan Fungsi Pembimbingan Syarak: Para tokoh agama (Ulama) cenderung mempertahankan model pengajaran yang bersifat seremonial di surau, gagal beradaptasi dengan realitas digital generasi muda. Pembimbingan etika Syarak sering tereduksi menjadi ritual formal, tanpa secara efektif menanggapi isu psikologis, seksual, dan etika berinteraksi di media sosial (Jurnal Penelitian Agama, 2024). Akibatnya, benteng pertahanan moral tidak terbentuk, dan ajaran agama menjadi asing di tengah pergaulan kontemporer.
2. Marginalisasi Peran Adat dan KAN: Secara tradisional, Niniak Mamak dan institusi Kerapatan Adat Nagari (KAN) berfungsi sebagai pengawas moral. Namun, di tengah arus urbanisasi, otoritas ini terpinggirkan, bahkan cenderung berjarak dengan kehidupan kemenakan. Tokoh adat gagal menemukan cara yang relevan untuk menegakkan sanksi sosial malu secara preventif. Kontrol sosial Adat pun lumpuh, lantaran KAN belum maksimal merumuskan aturan adat yang adaptif (Padang Journal of Law, 2023).

B. Resistensi Kolektif Masyarakat: Ketidakmauan Menerapkan Nilai
Kegagalan kedua berada di pundak masyarakat, khususnya generasi muda, yang menunjukkan resistensi dan apatisme terhadap nilai-nilai identitas mereka:

1. Apatisme terhadap Pemahaman Nilai:
Mayoritas cenderung menganggap ABS-SBK sebagai warisan museum atau slogan retorik di acara formal. Terdapat ketidakmauan kolektif untuk mempelajari, memahami, dan menginternalisasi nilai-nilai Syarak maupun aturan pergaulan dalam Adat.
2. Individualisme Mengalahkan Kolektivitas: Gempuran media digital menanamkan nilai individualisme yang kuat. Rasa takut pada sanksi adat (malu) yang seharusnya bersifat preventif, kini justru berubah fungsi menjadi pemicu tindakan ekstrem. Pelaku memilih menghilangkan bukti (bayi) sebuah tindakan keji yang juga secara mutlak dilarang Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa yang tidak menyayangi, maka tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari dan Muslim) daripada menanggung malu yang akan menimpa kolektif. Ikatan kaum tidak lagi lebih kuat daripada tekanan ego pribadi.
3. Syarak sebagai Pelarian, Bukan Dasar Etika: Ketika perbuatan asusila terjadi, agama dijadikan alat pelarian pasca-kejadian (“menyalahkan takdir”), bukan dasar etika yang mengikat sebelum bertindak.
Jika Syarak dan Adat gagal berfungsi sebagai benteng, maka kekuatan yang meruntuhkannya adalah gelombang globalisasi dan revolusi media digital yang bertabrakan keras dengan tatanan sosial Minangkabau. Survei menunjukkan bahwa media sosial kini telah menggantikan Surau sebagai pusat interaksi dan informasi utama bagi generasi muda (KabarPadang.com, 2024; Jurnal P4I, 2025).

Baca Juga  Rumah Inklusi Padang: Wadah Baru Perjuangan Hak dan Pemberdayaan Disabilitas

Arus konten global, yang mengagungkan hedonisme dan individualism nilai-nilai yang bertentangan dengan filosofi komunal Adat masuk tanpa filter. Paparan ini menciptakan jurang generasi yang nyata. Ajaran Syarak yang disampaikan di surau seringkali terasa kuno, sementara nilai-nilai liberal diserap instan melalui gawai. Fenomena ini membuktikan bahwa tantangan ABS-SBK bukan hanya pada internalisasi ajaran, melainkan pada perebutan ruang kesadaran generasi muda Minangkabau.

Mengatasi krisis moralitas menuntut transformasi struktural yang sinergis melalui konsep “Tungku Tigo Sajarangan.” Revitalisasi ini tidak hanya menyasar individu, tetapi juga mengaktifkan kembali kepedulian komunal yang menjadi ciri khas Alam Minangkabau.
A. Revitalisasi Fungsi Syarak: Internalisasi Etika Digital
Penyempurnaan peran Syarak harus bergeser dari fokus ritualistik ke internalisasi etika digital, yang menjadi tanggung jawab Ulama dan masyarakat.

1. Bagi Pemangku Agama (Ulama & Tuanku). Mengadaptasi Metode Dakwah sebagai Digital Preacher Para tokoh agama dituntut menjadi “Digital Preacher” yang relevan. Ulama harus mengadaptasi metode dakwah (Jurnal Penelitian Agama, 2024), memanfaatkan platform media sosial untuk menyasar langsung ruang gawai remaja. Kurikulum tidak cukup hanya fikih ritual, tetapi harus mencakup Etika Pergaulan Digital (hukum interaksi online) dan Kesehatan Reproduksi Remaja dari sudut pandang Islam, menjadikan Syarak sebagai panduan hidup real-time. Penguatan Peran Penyuluhan Pra-Nikah (ANTARA News, 2024) juga harus diintensifkan sebagai benteng keluarga.
2. Bagi Masyarakat. Mengaktifkan Kembali Amar Ma’ruf Komunal (Tanggap Sosial) Masyarakat wajib mengeliminasi apatisme. Prinsip Inisiasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar Komunal harus dihidupkan kembali, didorong oleh semangat sakarang (peduli) yang mendalam. Setiap individu harus didorong untuk berani menegur secara bijaksana jika melihat penyimpangan di lingkungannya, tanpa harus menunggu tokoh formal bertindak. Yang krusial, masyarakat harus menyadari bahwa Syarak adalah standar mutlak etika sebelum bertindak, bukan sekadar alat pelarian setelah berbuat salah. Peduli terhadap lingkungan sosial yang dicurigai melanggar asusila harus diangkat sebagai bagian dari kewajiban Syarak (menyelamatkan jiwa/marwah).

B. Revitalisasi Fungsi Adat: Pengawasan Adaptif dan Sanksi Edukatif
Penyempurnaan peran Adat harus berfokus pada pengawasan yang adaptif dan sanksi yang edukatif, dipimpin oleh Niniak Mamak dan KAN, serta diperkuat oleh masyarakat.
1. Bagi Pemangku Adat (Niniak Mamak & KAN). Merumuskan Aturan Abad ke-21 Niniak Mamak harus secara proaktif memangkas jarak dengan kemenakan melalui forum komunikasi reguler. Ini menuntut mereka melek digital agar dapat memahami tantangan pergaulan kemenakan mereka. Intitusi Kerapatan Adat Nagari (KAN) harus merevisi Peraturan Nagari untuk mengatur interaksi sosial di ruang publik dan digital, menjembatani aturan lama dengan tantangan teknologi (Padang Journal of Law, 2023). Walinagari dan KAN didorong menerapkan Sanksi Sosial Adat yang Edukatif (Deviance Jurnal Kriminologi, 2025) yang bersifat rehabilitatif dan transparan, alih-alih sekadar denda adat (ANTARA News, 2024).

Baca Juga  Walikota Bukittinggi Berjalan Kaki Bersama Jajarannya Ke IGD RS Yarsi

2. Bagi Masyarakat. Mengembalikan Fungsi Malu sebagai Preventif (Kontrol Sosial) Masyarakat harus dididik untuk memandang rasa malu sebagai alarm pencegahan (preventif), Kesadaran ini harus diperkuat melalui Kolaborasi Lintas Elemen di tingkat komunitas, seperti mengaktifkan kembali sistem pengawasan bertetangga dan RT/RW/Dasawisma untuk secara intensif dan bijaksana memonitor pergaulan remaja. Tanggap sosial kolektif menjadi kunci, di mana kecurigaan harus segera dikomunikasikan ke Niniak Mamak atau Bundo Kanduang untuk ditangani secara adat, sebelum berkembang menjadi kasus kriminal yang merobek marwah kaum.
C. Sinergi Struktural dan Dukungan Pemerintah

Semua upaya di tingkat komunitas harus didukung struktural. Dukungan pemerintah diperlukan melalui Penguatan Kelembagaan (LPA dan LKAM) (DPRD Sumbar, 2020) dan adopsi Pendekatan Holistik yang memasukkan dimensi psikologis remaja dalam program pencegahan (Deviance Jurnal Kriminologi, 2025), mengenali bahwa tekanan media sosial dan isolasi sering menjadi akar masalah. Sinergi ini akan memastikan ABS-SBK menjadi software sosial yang terinstal penuh di Ranah Minang.

*KESIMPULAN*

Pada akhirnya, kasus asusila di Ranah Minang adalah alarm kolektif yang tidak boleh diabaikan. Fenomena ini membuktikan bahwa Falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah tidaklah kebal terhadap arus moralitas baru. Akar masalahnya terletak pada diskoneksi fatal antara idealisme filosofis dan realitas sosiologis. ABS-SBK tetap berada di tataran ideal, sementara aktor pelaksananya baik tokoh agama, adat, maupun Masyarakat telah pindah ke realitas digital dan individualistik. Kasus-kasus keji yang berulang adalah cerminan dari kegagalan para tokoh adat dan agama untuk menjangkau masyarakatnya, serta ketidakmauan masyarakat itu sendiri untuk terikat pada nilai luhur yang mereka klaim. Sanksi adat malu yang seharusnya mencegah justru berubah menjadi pendorong pembunuhan bayi, menegaskan bahwa kontrol sosial telah runtuh.
Oleh karena itu, solusinya harus bersifat futuristik dan mendasar. Upaya pencegahan asusila bukan sekadar seruan moral, melainkan sebuah mandat struktural yang menuntut masyarakat kembali menyelami, memahami, dan mengamalkan ajaran agama Islam secara utuh. Ini harus diiringi dengan transformasi struktural yang mengembalikan fungsi Adat dan Syarak sebagai software sosial yang adaptif dan relevan zaman. Untuk mencapainya, diperlukan sinergi ‘Tungku Tigo Sajarangan’ yang melek digital, berani merevisi Peraturan Nagari demi mengatur etika di ruang digital, dan memiliki kebijaksanaan untuk mengelola stigma sosial. Tujuannya adalah memastikan rasa malu kembali menjadi alarm pencegahan (preventif) yang sehat, bukan lagi pemicu tindakan kriminal keji. Hanya dengan menjadikan ABS-SBK sebagai solusi modern, didukung oleh para aktor yang proaktif, dan diawasi oleh masyarakat yang tanggap, Ranah Minang dapat membangun benteng moralitas yang tahan uji dan memastikan bahwa mahkota budayanya tidak pernah lagi dicoreng oleh penyakit moral. (A Idris).